Universitas Harapan Bangsa

Perjalanan Muhammad Jia Nur Islam Magang ke Jepang

Bagikan :

PURWOKERTO – Ada banyak cara Tuhan menyampaikan kejutan. Kadang lewat kesedihan, kadang lewat cobaan, atau bahkan kadang lewat cibiran atau cacian. Termasuk lewat cuaca buruk di bandara. Itulah yang diyakini Muhammad Jia Nur Islam, Mahasiswa Universitas Harapan Bangsa (UHB) yang menjalani Program Magang Jepang tahun ini.

Ya, akibat cuaca buruk saat langkah awalnya menuju Negeri Sakura, Jia ‑ sapaaanya, terpaksa harus menunggu lebih lama karena pesawat delay. Awalnya, Jia yang berangkat bersama beberapa temannya ke Jepang, sempat bingung dan tidak tahu harus bagaimana. Namun setelah perjalanan “dua hari” menuju Jepang, Jia mengaku sangat bersyukur atas kejutan dari Tuhan tersebut.

Tidak hanya ke Jepang, Jia bahkan menginap di hotel mewah sehari semalam saat transit di Shanghai, Tiongkok. “Seru. Pengalaman pertama ke luar negeri, langsung ke dua negara,” ceritanya bangga. Saat itu, tanggal 3 Maret 2025, Jia bersama teman lainnya sudah bersiap bertolak dari Bandara Soekarno-Hatta untuk menjalani program magang ke Jepang dari UHB.

Tapi malam itu, hujan turun lebat, awan menebal, dan cuaca memburuk. Penerbangan yang seharusnya dijadwalkan pukul 00.00 WIB tertunda sampai empat jam. “Awalnya saya santai aja,” kenang Jia. “Karena walaupun delay, pasti sudah ditangani langsung oleh pihak maskapainya,” lanjutnya. Lalu Jia pun terbang ke Jepang meski tidak sesuai jadwal penerbangan yang ditetapkan sejak awal. Di perjalanan, pesawat pun transit di Shanghai, Tiongkok, sekitar pukul 10 pagi waktu setempat. “Nah disini masalah lain muncul. Kita ketinggalan pesawat yang mau ke Jepang. Ya karena delay 4 jam dari Bandara Soeta-nya,” ceritanya.

Saat itu, lanjut Jia, keseruan dan kepanikan menjadi perasaan yang campur aduk. Awalnya, biasa saja saat tiba di Bandara Pu Dong. “Saat itu tidak bisa menghubungi pihak UHB karena kan sinyalnya berbeda. Sampai akhirnnya minta tolong ke turis lain dari Indonesia agar bisa menghubungi pihak kampus dan berkoordinasi dengan pihak maskapai,” jelas Jia.

Nah, dari sini pengalaman seru di Shanghai baru dimulai. Baik dari pihak maskapai dan UHB memberikan kompensasi. “Pihak maskapai memastikan keberangkatan ke Jepang pada keesokan harinya, dan pihak UHB memberikan kompensasi dengan tambahan uang saku. Soalnya kan kita preparenya ke Jepang, jadi uangnya tidak bisa digunakan di Shanghai,” paparnya. Akhirnya, Jia bersama sejumlah temannya, bermalam di Shanghai, dengan fasilitas yang diberikan pihak maskapai. Mulai dari hotel, makan malam, sarapan, bus antar jemput hotel-bandara, dan kepastian berangkat ke Jepang. “Tapi karena saya anaknya tidak bisa diam, ya saya eksplor Shanghai. Saya jalan-jalan di kota, melihat budaya orang Tiongkok secara langsung. Yang saya tahu, di Tiongkok ternyata serba modern. Bahkan semua transportasinya menggunakan kendaraan listrik,” ungkap Jia.

Satu-satunya masalah yang tidak bisa Jia selesaikan di Shanghai yakni suhu dingin yang ekstrem. Saat itu, siang hari di Shanghai suhunya mencapai lima derajat. Jia yang hanya mengenakan kemeja almamater dan celana bahan, jelas tidak kuat menahannya. “Keluar bandara, langsung kaku, karena dingin” katanya sambil tertawa.

Hari berikutnya, yakni tanggal 5 Maret 2025, Jia akhirnya dijemput pihak maskapai dan langsung terbang ke Jepang. Sesampainya di Jepang, Jia mengaku sangat bersyukur. Meski udaranya masih terasa dingin, tapi langit di Jepang lebih cerah, jika dibandingkan Shanghai. “Rasanya lebih tenang, lebih lega. Kayak… enak aja gitu,” tutur saat pertama kali tiba di Jepang.

Pengalaman sehari semalam di Shanghai menjadi hal yang paling berkesan selama perjalanannya dari Indonesia ke Jepang. “Bayangin, tanggal 3 kita di Indonesia, tanggal 4 jalan-jalan di Shanghai, dan tanggal 5 sudah ada di Jepang. Kaya mimpi tapi ini nyata,” seru Jia.

Di Jepang, Jia pun memulai petualangan barunya dengan langsung mengikuti program Magang Jepang yang memang menjadi program unggulan Universitas Harapan Bangsa (UHB). Jia memang termasuk peserta magang termuda. Saat teman lain rata-rata semester lima, ia masih semester tiga. Tapi ia dapat kesempatan karena menggantikan kakak kelas yang tak lolos MCU. “Sempat takut nggak bisa ikuti ritme kerja di sini. Tapi lihat kakak kelas ternyata bisa, jadi saya optimis.”

Dua minggu bekerja, ia mulai paham ritme, mengenali karakter pasien, dan bisa berkomunikasi lebih lancar. “Yang penting adaptasi dan mau belajar. Lama-lama nyambung juga.” Bekerja di negeri orang tak membuat Jia lupa satu hal penting dalam hidupnya: olahraga. Sejak mondok di Ponorogo, Jia memang aktif. Badminton, basket, sepakbola, takraw—semua ia coba. Bagi Jia, olahraga bukan cuma kegiatan fisik. Itu juga ruang untuk bertemu orang baru, melepas penat, dan, kadang, menyembuhkan diri.

“Dulu saya kurus banget. Sering dibully. Dari situ saya niat olahraga, nge-gym, supaya lebih percaya diri,” ungkapnya. Sekarang, olahraga jadi rutinitas yang ia bawa hingga ke Jepang. Suatu sore, Jia naik sepeda sekitar 15 menit ke Pantai Chura Sun. Di sana, ada lapangan basket. “Main bareng orang Jepang, malah pernah juga main sama cewek Jepang,” ucapnya malu-malu. Akhir pekan lainnya, ia ke IAS Mall. Ketemu toko olahraga besar, dan langsung coba alat golf yang dipajang. “Baru pertama kali. Tapi seru juga,” katanya.

Ia bahkan sempat berburu tempat gym. Awalnya nemu yang bagus tapi mahal. Akhirnya nemu gym lain yang lebih terjangkau, dan kini rutin latihan. “Selain buat jaga badan, ya sekalian buat healing juga.” Jia lahir di Jipang, sebuah desa kecil di Brebes, 19 Oktober 2003. Ia anak sulung dari delapan bersaudara. Ayahnya, Sudirman, berasal dari Aceh, sementara ibunya, Intan Komala Dewi, asli Brebes.

Sejak kecil, keluarganya berpindah ke Batam. Di sana Jia menghabiskan masa SD dan SMP. Lalu lanjut mondok SMA di Ponorogo. Saat lulus, ia sempat daftar ke Universitas Jenderal Soedirman, tapi gagal. Justru saat ikut ujian di Purwokerto, ia melihat poster Universitas Harapan Bangsa (UHB) yang punya program magang ke Jepang. Ia langsung daftar. Tak disangka, kesempatan itu datang lebih cepat dari yang ia bayangkan. “Saya dari kecil suka anime, terutama Naruto. Makanya pengen banget ke Jepang. Ternyata jalan itu terbuka lewat UHB.”

Bagi Jia, magang di Jepang bukan cuma soal bekerja. Ini tentang belajar hidup. Tentang mengenal dunia, mengenal orang, dan mengenal diri sendiri. Setiap libur, ia jalan bareng kakak kelas. Diajarin naik monorel, bus, bahkan taksi. “Saya cari relasi juga. Siapa tahu jodohnya orang Jepang,” ujarnya sambil tertawa. Tapi di balik candanya, ada cita-cita yang lebih dalam. Jia ingin pulang dengan versi terbaik dirinya. Ingin punya tabungan, usaha, bahkan mungkin investasi di Jepang. “Paling nggak, ada pemasukan rutin. Saya pengen bangun sesuatu dari pengalaman ini.”

Kalau pesawat ke Jepang itu tak delay, mungkin Jia tak akan pernah merasakan betapa hangatnya makan malam di hotel Shanghai, betapa dinginnya jalanan luar negeri, atau betapa berharganya bantuan dari orang asing di tengah bandara asing. Tapi mungkin, justru dari situlah kisah ini terasa lengkap. Karena hidup bukan soal cepat sampai tujuan, tapi tentang apa saja yang kita temui di sepanjang perjalanan. Dan Jia, mahasiswa UHB ini, sedang menjalani salah satu bab terbaik dalam hidupnya.