Universitas Harapan Bangsa

Dulu Cita-citanya Psikolog, Kini Fokus dan Mantap Menjadi Perawat Kisah Nadhira Ulya Temukan Tujuan Baru di Negeri Sakura

Ira (paling kanan) berfoto bersama seluruh staf rumah sakit di salah satu restoran dalam kegiatan penyambutan khusus sebelum menjalani program magang di Jepang.

Bagikan :

SAAT Kubo-san menggenggam tangan di malam terakhir sebelum pulang dari Rumah Sakit, ia tak mengatakan banyak. Tapi kehangatan dan air mata yang mengalir di pelupuk matanya sudah cukup membuat Nadhira Ulya, atau akrab disapa Ira, tahu bahwa kehadirannya selama magang di Jepang bukanlah hal sepele.

“Saya dianggap seperti cucu sendiri,” kata Ira mengenang perpisahan dengan pasien lansianya yang selama ini begitu dekat dengannya. Ira, gadis bungsu dari empat bersaudara asal Bandar Lampung, mungkin tak pernah membayangkan ia akan merawat orang asing di negeri yang dulu hanya ia kenal lewat komik dan film animasi. Apalagi, dulunya ia bercita-cita menjadi psikolog, bukan perawat.

“Saya anak IPS. Dari SMP pengin banget jadi psikolog karena suka ngobrol dan dengerin cerita orang,” ucapnya. Cita-cita itu sempat menguat saat duduk di bangku SMA, meskipun sempat labil juga. Ia bahkan sempat mendapatkan saran dari guru BK yang dikenalnya baik, bahwa pilihan kampus untuk jurusan psikologi mungkin terbatas. Tapi semuanya berubah saat sesi konseling di kelas XII.

“Saat itu ada teman yang bilang pengin jadi perawat. Tapi guru BK yang satu lagi bilang itu nggak mungkin karena kami dari IPS. Nah, dari situ malah saya jadi tertantang buat buktiin,” katanya sambil tertawa kecil. Ira akhirnya membidik Universitas Harapan Bangsa (UHB) Purwokerto, kampus yang ia tahu dari salah satu saudaranya. Ia daftar lewat jalur undangan dan langsung diterima. Saat itulah, untuk pertama kalinya ia benar-benar merasa mengambil alih kemudi hidupnya sendiri.

“Saya langsung kabarin guru BK saya. Rasanya puas karena bisa membuktikan.” Meski tak punya latar belakang di bidang kesehatan, Ira mengaku pernah aktif di PMR saat SMP. Pengalamannya itu, khususnya di bagian Perawatan Keluarga, ternyata sangat membantunya ketika akhirnya mengikuti program magang ke Jepang. “Awalnya saya nggak tahu ada program itu. Begitu masuk UHB baru tahu, dan langsung jadi target baru. Tapi karena peminatnya banyak banget, saya nggak kebagian masuk kelas Jepang. Akhirnya masuk kelas B, bahasa Inggris,” jelas Ira.

Namun semangatnya tak luntur. Ia tetap kejar ilmu dan pelatihan intensif selama dua bulan saat libur semester tiga. Materi yang padat justru membuatnya makin semangat. “Karena pengen banget, jadi belajarnya juga cepat masuk,” katanya.

Magang di Jepang membuka mata Ira tentang dunia keperawatan, tentang interaksi manusia. Mulai dari interaksi dengan sesama perawat, hingga interaksi dengan para pasein. Dan yang paling penting yakni belajar untuk memahami tentang dirinya sendiri.

Di Jepang, Ira menyadari bahwa semua orang dihargai setara. “Tiga kata yang paling sering saya dengar di sana: Tolong, Maaf, Terima Kasih. Semua orang mengucapkannya, dari manapun latarnya,” ucapnya kagum.

Dua pasien lansia begitu berkesan bagi Ira. Pertama, Kubo-san, yang kerap perhatian hingga urusan kecil sekalipun. Ia sering mengajak Ira ngobrol serius, dan menjadikan Ira tempat berbagi cerita. “Sebelum dia pulang, saya nangis. Karena udah deket banget,” kenang Ira.

Pasien kedua, Sugama-san, yang tak kalah menyentuh hatinya. Sosok yang penuh semangat dan suka berbagi. “Dia sering ngasih makanan, minuman, dan selalu nyemangatin. Tapi yang paling saya ingat, pesannya ke saya: Kamu harus jadi orang baik.”

Selama di Jepang, Ira juga menyempatkan menjelajahi budaya, makanan, dan kebiasaan masyarakat Jepang. Tapi hal terpenting yang ia temukan justru bukan di luar, melainkan di dalam dirinya sendiri: tujuan hidup baru. “Saya pengen punya teman orang Jepang, dan kembali ke Jepang bukan sebagai peserta magang, tapi sebagai perawat profesional,” tegasnya. Setelah kembali ke Indonesia, Ira berencana menyelesaikan kuliahnya, melanjutkan program profesi Ners, dan menyiapkan diri kembali ke Jepang. “Saya udah tahu arah hidup saya sekarang,” katanya mantap.

Rektor Universitas Harapan Bangsa, Dr. Yuris Tri Naili, S.H., KN., M.H., menyebut kisah Ira sebagai refleksi dari semangat mahasiswa UHB yang tak hanya berprestasi secara akademik, tetapi juga adaptif, penuh semangat, dan siap menghadapi dunia global. “Ira adalah contoh bagaimana mahasiswa kami bisa berkembang dari latar belakang yang mungkin dianggap ‘tidak sesuai’ dengan dunia keperawatan, tapi justru menunjukkan dedikasi luar biasa dalam merawat pasien. Magang ke Jepang bukan hanya program unggulan UHB, tapi menjadi jembatan bagi mahasiswa seperti Ira menemukan panggilan hidupnya,” ujarnya.